Saturday 10 December 2016

PELUANG USAHA BUDIDAYA KEPITING BAKAU DAN PERMASALAHANNYA

PELUANG USAHA BUDIDAYA KEPITING BAKAU
DAN PERMASALAHANNYA

A.     PELUANG USAHA
Pembudidayaan kepiting bakau relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan teknik budidaya udang atau bandeng. Bahkan, teknik budidayanyapun sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan skala tradisional maupun profesional.
Kemudian, untuk membudidayakan kepiting bakau tidak memerlukan lahan yang luas. Tinggal saja kita memilih teknik pembudidayaan yang sesuai dengan kemampuan kita. Jika kita tidak  mempunyai lahan tambak, kita dapat membudidayakan kepiting bakau dengan keramba apung.
Begitu mudahnya membudidayakan kepiting bakau,  lahan yang diperlukannya pun memanfaatkan alam yang relatif tidak memerlukan biaya sewa atau membeli. Misalnya: saluran tambak, sungai, atau lahan penyangga dekat tambak sepanjang sungai yang terkena pengaruh pasang surut. Dengan demikian, budidaya kepiting bakau ini diharapkan dapat diterapkan oleh kelompok tani yang kekurangan modal.
Berdasarkan data statistik tahun 1988, produksi kepiting bakau baik dari hasil tangkapan di alam maupun hasil budidaya berjumlah 1.157 ton dan diperkirakan dua kali jumlah produksi tahun 1981. Volume ekspor menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu mencapai 1.494 ton pada tahun 1988 dan bila dibandingkan ekspor tahun 1981 hanya sekitar 1.994 ton.
Diperkirakan, perkembangan usaha perdagangan kepiting bakau di masa yang akan datang diharapkan terus meningkat. Hal ini sesuai  dengan berbagai alasan sebagai berikut. 
1.     Adanya peluang pasar ekspor yang terbuka luas; sedikitnya ada 11 negara konsumen yang menerima ekspor kepiting dari Indonesia  (Statistik Indonesia, 1988).
2.     Adanya  potensi lahan yang merupakan habitat atau tempat hidupnya kepiting yang cukup layak serta potensi lahan budidaya yang identik dengan  luasan lahan tambak tradisional dan ketersediaan lahan mangrove sebagai habitat hidupnya  kepiting bakau.
3.     Pengetahuan kita yang semakin bertambah di bidang budidaya kepiting bakau baik dari pengalaman lapang maupun hasil penelitian yang telah dan  sedang dilakukan
4.     Keberhasilan  pembenihan kepiting walaupun tingkat mortalitas masih tinggi tetapi teknologi sudah mulai dikuasai.

Oleh karena itu, perencanaan dan pengembangan budidaya kepiting bakau   sebagai subsektor  perikanan, perlu diperhitungkan  secara rinci. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan dan kelayakan lingkungan budidaya  serta daya dukungnya, sehingga diharapkan pembangunan perikanan komoditas kepiting bisa berlanjut tanpa merusak lingkungan.



B.     PERMASALAHAN YANG SERING DIHADAPI
Akar permasalahan dari budidaya kepiting bakau ini adalah penanganan yang masih tradisional, sehingga hal ini berdampak pada semua aspek, baik transportasi, pemasaran, pembudidayaan, pengadaan benih, kelestarian sumberdaya kepiting, dan tenaga kerja, serta teknologi.

1.     Transportasi
Karena budidaya kepiting bakau, masih belum menjadi tujuan utama, biasanya pelaksananya adalah orang per orang. Dengan demikian, lahan apapun dimanfaatkan. Akhirnya, mereka kurang memperhatikan sarana transportasi. Hal ini berdampak pada aspek pemasaran dan lainnya.

2.      Pemasaran
Sebenarnya, permasalah pemasaran ini bukan karena tidak adanya peminat kepiting bakau. Permasalahannya hanyalah karena para petani kurang mendapatkan informasi pasar. Kepiting bakau yang sebenarnya memiliki harga jual yang tinggi karena tidak memperoleh informasi pasar, akhirnya dijual dengan harga rendah. Ini mengakibatkan kurangnya semangat para petani untuk membudidayakan kepiting bakau.

3.     Pembudidayaan
Pembudidayaan kepiting bakau belumlah semarak budidaya udang atau bandeng. Oleh karenanya, budidaya kepiting bakau masih ditangani secara tradisional dan belum banyak tersentuh oleh para investor.
Sebenarnya, penangkap kepiting bakau telah ada sejak lama. Namun, pembudidayaan kepiting bakau baru ada beberapa tahun belakangan ini. Itu karena adanya permintaan pasar ekspor. Dengan demikian, penanganannya masih belum dilaksanakan secara profesional. Perhatikan tabel berikut!

Tabel jumlah penangkap, petani budidaya,                               dan pengumpul kepiting 1991.

    Lokasi       Penangkap        Budidaya    Pengumpul

1.    Segara anakan    403    2    19
    (Cilacap)
2.    Bone    298    100    25
3.    Langkat    14    5    ND
4.    Lampung    127    1    10
5.    Tanggerang    ND    2    ND
6.    Kamal    -    -    1

ND = tidak ada data.   

4.     Pengadaan Benih
Walaupun Indonesia kaya akan hutan mangrove yang merupakan habitat kepiting bakau, pengadaan benih untuk budidaya masih menghadapi kendala. Hal ini sangat disadari bahwa memang kita masih belum dapat mengembangbiakan kepiting bakau tersebut, sehingga kita masih mengandalkan perolehan benih dari alam.
Kendalanya adalah untuk membudidayakan kepiting bakau diperlukan benih yang cukup banyak dan mengharapkan ukuran tertentu. Sementara, hasil yang didapat dari para penangkap adalah benih kepiting bakau denganukuran yang bervariasi, sehingga perlu adanya seleksi. Selain itu, penebaran benih yang dilakukan pembudidaya haruslah secara serentak, tetapi benih yang didapat tidak memenuhi.

5.     Kelestarian Sumberdaya Kepiting
Kelestarian sumbedaya kepiting bakau terancam karena banyaknya alat sero yang beroperasi diperairan pantai. Baik disadari atau tidak, ini akan menyebabkan banyaknya kepiting bertelur yang bermigrasi ke laut untuk menetaskan telurnya karena takut tertangkap oleh alat tersebut. Penurunan populasi kepiting di alam, di samping oleh tingkat penangkapan yan gintensip juga di beberapa daerah diduga akibat penggunaan pestisida atau bahan cemaran lainnya.

6.     Tenaga Kerja
Budidaya kepiting bakau yang yang belum dilaksanakan secara profesional menyebabkan tenaga kerja yang ada masih belum memiliki keahlian. Mereka hanya mengandalkan pengalaman yang selama ini mereka lakukan. Peningkatan kemampuan tenaga kerja baru mulai setelah adanya pasar ekspor kepiting bakau. Hal ini karena kepiting bakau hasil budidaya haruslah memenuhi standar mutu.

7.     Teknologi
Kendala utama untuk pengembangan budidaya kepting adalah belum ditemukannya paket teknologi pembenihan yang secara komersial bisa menyediakan benih secara tepat waktu, mutu, jumlah, dan ukuran.

Pengelolan Kepiting Hidup

Pengelolan Kepiting Hidup
Beruntunglah bahwa kepiting bakau mampu bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama pada kondisi tanpa air. Hal ini akan memudahkan kita dalam menangani kepiting tersebut setelah dipanen. Dengan demikian, kita dapat mempertahankan kesegaran kepiting tersebut. Tidak seperti hasil laut lainnya seperti ikan dan udang.
Sungguhpun demikian, kita harus melakukan suatu penanganan secara baik agar kondisi kesehatannya dapat dipertahankan, sehingga kepiting bakau sampai kepada konsumen dalam keadaan segar.
Perlu diketahui bahwa sampai saat ini ekspor kepiting masih dilakukan dalam bentuk kepiting segar atau hidup. Untuk itu,  penanganan kepiting selama proses tataniaga perlu mendapat perhatian.
Kepiting bakau memiliki sepasang capit, tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Semua itu merupakan suatu alat gerak  yang cukup kuat sehingga kepiting dapat berenang dengan cepat di dalam air dan dapat berjalan dengan cepat di daratan. Hal ini merupakan kendala dalam penaganan kepiting setelah ditangkap.
Jika kepiting bakau disimpan dalam jumlah yang banyak pada suatu wadah tanpa perlakuan khusus, hal ini dapat menyebabkan terjadinya banyak pergerakan.  Bahkan, mereka akan saling mencapit antara satu dengan yang lainnya.
Akibatnya, perkelahian terjadi. Kepiting yang kuat akan bertahan hidup, sementara yang lemah akan mengalami kematian. Ini merupakan suatu kerugian bagi kita karena kepiting tersebut akan sukar untuk dipasarkan.
Untuk mengatasi peristiwa tersebut, kepiting harus diberikan perlakuan khusus. Setelah penangkapan, kaki dan capit kepiting seharusnya diikat.
Ada beberapa cara pengikatan kepiting yang berhasil dilakukan tanpa merusak kondisinya, yaitu:
(1)     pengikatan keseluruhan kaki jalan dan capit,
(2)    pengikatan capit dengan satu tali, dan 
(3)    pengikatan masing-msing capit dengan tali yang terpisah.

Bahan yang digunakan untuk mengikat kepiting dapat digunakan tali rafiah. Jika terlalu tebal, tali tersebut dapat dibelah menjadi dua atau tiga bagian. Di alam, para petani juga sering mengikat kepiting dengan serat tumbuhan. Bahan itupun cukup berhasil untuk membuat kepiting tidak bergerak.
Pada pengikatan cara pertama sangat baik dilakukan. Hal ini karena kepiting tidak akan mampu sama sekali menggerakkan anggota tubuhnya. Dengan demikian, penanganan selanjutnya sangat mudah dilakukan.
Namun, pengikatan dengan cara kedua dan ketiga masih memungkinkan bagi  kepiting untuk berjalan. Pengikatan itu hanya mampu menghentikan aktivitas kepiting untuk mencapit.
Penanganan selanjutnya adalah berhubungan dengan suhu. Suhu udara yang tinggi dapat menimbulkan kekeringan pada kepiting sehingga menurunkan berat badannya. Sementara, dalam penjualan kepiting, harga ditentukan oleh berat badannya. Kekeringanpun akan menimbulkan kematian pada kepiting. Dengan demikian, kita akan mengalami kerugian.
Untuk memperanjang masa penyimpanan dan transportasi kepiting hidup, faktor suhu dan kelembapan perlu diperhatikan. Para petani tradisional, untuk menjaga kelembapan dan suhu, tidak lain adalah dengan pencelupan dan pemberian selimut yang basah pada tubuh kepiting tersebut. Mereka dapat menggunakan karung goni yang dibasahi.Pencelupan kepiting ke dalam air dilakukan setidaknya satu kali dalam sehari. Selain untuk menjaga kelembapan, pencelupan bermanfaat untuk membersihkan kepiting dari kotoran. Setelah itu, kepiting dapat ditumpuk kembali kedalam wadah yang berisi kain lembab. Dengan demikian, kepiting akan mampu bertahan hidup selama beberapa hari. Dengan cara ini pula, angka kematian  dapat diturunkan hingga 20%.
Namun, jika kita memiliki fasilitas pendingin, penyimpanan kepiting dapat dilakukan pada suhu 200C dengan kelembaban 95%. Pada kodisi ini kepiting dapat bertahan hidup sampai 6 hari.













Kepiting yang telah diikat dan ditata rapi siap dipasarkan.

Budidaya kepiting bakau bertelur dengan Keramba Apung

Budidaya kepiting bakau bertelur dengan Keramba Apung
Budidaya Kepiting Bakau Bertelur dilakukan untuk meningkatkan mutu kepiting betina tidak bertelur atau bertelur belum penuh menjadi bertelur penuh melalui pemeliharaan secara intensif.
Tentu saja, perbaikan mutu kepiting bakau bertelur tersebut bertujuan memberikan nilai tambah kepiting tersebut. Dengan demikian,  diharapkan pendapatan para nelayan atau petani jadi meningkat.
Perlu diketahui bahwa harga kepiting betina bertelur penuh bisa 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kepiting yang tidak bertelur atau bertelur belum penuh untuk ukuran yang sama.
Adapun langkah-langkah pembudidayaan kepiting bakau bertelur dengan  menggunakan keramba apung adalah sebagai berikut.

1.     Persyaratan Lahan Budidaya
Untuk membudidayakan kepiting bakau bertelur dalam keramba apung ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan. Lahan yang cocok digunakan adalah saluran pembagi air, tambak, dan lokasi di pingiran sungai. Namun, lahan tersebut harus mampu menyediakan air yang cukup dan memiliki mutu yang baik, sesuai dengan syarat hidup kepiting bakau dan tidak tercemar. Selain itu lokasi lahan harus terlindung dari terik matahari, tidak ramai oleh kegiatan manusia, dan terlindung dari arus air yang deras.

2.     Cara Membuat Keramba Apung
Keramba apung dibuat dari bahan bambu yang dibelah selebar 2 cm. Kemudian, bilah-bilah bambu tersebut dianyam seperti membuat kere. Lalu, setelah dianyam segi empat, dibuatlah kotak. Ukuran kotak  tersebut kira-kira 1x 2 m. Pada bagian dalamnya dibagi menjadi beberapa ruangan. Pembagian ruangan dapat dilakukan dengan menggunakan sikat dari bambu. Kemudian, keramba apung dilengkapi  dengan pelampung dengan gelondongan bambu pada bagian kiri dan kanan keramba tersebut.  Pada kedua sisi  panjang yang berlawanan. Perhatikan gambar berikut!


















Gambar 3.6. Keramba Apung.

Oleh karena itu keramba apung berukuran kecil untuk skala rumah tangga misalnya 2x1 m, 3x2 m dst. Penempatan keramba apung ini dapat dilakukan di tiap genangan air yang mempunyai  pergantian air secara cukup seperti di saluran, tepi sungai dekat rumah tinggal dan semacamnya. Walaupun usaha ini skala kecil namun tingkat kelulusan hidupnya bisa mencapai 100% karena kepiting ditempatkan secara terpisah satu sama lain.
Proses produksi kepiting bertelur paling lama berlangsung sekitar 5 –14 hari tergantung ukuran awal yang ditebar. Kepiting betina BS  yang dijual di pasaran biasanya sebahagian besar telah menagndung telur sedikit, sehingga proses pematangannya akan lebih singkat yakni antara 5-14 hari.

3.     Persiapan dan Penyimpanan Benih
Tentunya, budidaya kepiting bakau bertelur menggunakan bibit dengan jenis kelamin betina. Lalu, bagaimana cara membedakan antara kepiting bakau jantan dan kepiting bakau betina?
Untuk membedakan mana yang merupakan kepiting bakau  jantan dan mana yang merupakan kepiting bakau betina tidaklah sukar. Perhatikan perbedaan antara kepiting bakau jantan dan kepiting bakau betina pada gambar berikut ini!
















Gambar 3.7. Seleksi jenis kelamin, kiri (betina) kana (jantan)

Dari gambar di atas tampak bahwa perbedaan yang mendasar antara kepiting jantan dan kepiting betina adalah pada bagian perutnya. Perut pada kepiting betina tampak lebih lebar jika dibandingkan dengan kepiting jantan. Hal ini karena perut kepiting betina akan membesar jika telah matang telur.
Ukuran kepiting yang akan dibudidayakan untuk produksi kepiting bertelur disarankan berukuran > 150 gram. Kepiting tersebut tidak bertelur atau belum bertelur penuh.
Bibit kepiting tersebut bisa berasal dari hasil pembesaran, dari hasil tangkapan, atau membeli dari penjual bibit.

4.     Penebaran
Penebaran benih yang akan dibudidayakan ke dalam keramba apung haruslah dilaksanakan secara serentak. Seekor kepiting menempati sebuah ruangan yang telah di sekat-sekat dalam keramba. Hal ini bertujuan untuk menghindari perkelahian di antara kepiting, sesuai dengan sifat-sifat kepiting bakau tersebut.

5.     Pemeliharaan
Dengan ukuran benih tadi, pemeliharaan akan memakan waktu selama lebih kurang tiga minggu. Hal ini bergantung pada tingkat kematangan telur. Proses pematangan telur dapat pula dilakukan secara buatan, yaitu dengan cara memotong salah satu tangkai mata kepiting bakau.
Berbagai alternatif pakan yang diberikan oleh petani, antara lain: ikan rucah segar, ikan kering tawar, usus ayam, kulit sapi/kulit kambing, bekicot, keong sawah, dan lain-lain. Adapun banyaknya makanan yang diberikan adalah 5 hingga 10% dari berat badan kepiting tersebut.
Diduga pada kepiting muda kemauan makan lebih baik karena pada periode ini kepiting masih tumbuh cepat dan sering mengalami ganti kulit dibanding kepiting dewasa. Semakin padat/besar kandungan telur dalam tubuhnya, semakin malas kepiting makan. Puncaknya setelah telur keluar sepertinya kepiting itu berpuasa. Hal ini juga didukung oleh  kenyataan bahwa kepiting yang bertelur penuh dan siap memijah hampir tidak pernah tertangkap olah alat tangkap dengan menggunakan umpan baik alat wadong maupun rakkang.

6.     Pemanenan
Pemanenan siap dilakukan jika kepiting bakau telah matang telur dan memenuhi persyaratan ekspor (kondisi bertelur penuh). Bagaiman ciri-ciri kepiting bakau yang telah bertelur penuh. Perhatikan gambar berikut!

Pembesaran kepiting bakau di tambak

Pembesaran kepiting bakau di tambak
1.     Persyaratan Lahan Budidaya
Telah kita ketahui bahwa kepiting bakau adalah sejenis kepiting yang dapat hidup di air payau. Dengan demikian, kepiting ini dapat  dibudidayakan di tambak. Itupun, tambak harus dekat pesisir pantai. Hal ini karena tambak membutuhkan air laut yang bercampur air tawar.
Indonesia sebagai negara kepulauan tidak akan kesulitan untuk menyediakan lahan yang cocok untuk tambak kepiting bakau. Ada lebih kurang 250.000 ha tambak (1987) yang telah diusahakan untuk memelihara kepiting bakau.
Menurut perhitungan survai kerjasama antara Dirjen dengan pusat penelitian perikanan (1985) luas lahan dataran pantai yang potensial untuk dibuat tambak, khususnya yang terdiri dari hutan bakau ada lebih kurang 4,3 juta ha. Namun, tidak semua hutan bakau itu boleh dibuka untuk lahan tambak. Hal ini guna menjaga keseimbangan ekosistem. Untuk itu, perlu dicadangkan sekitar 10-20 %.
Selain itu, hutan bakau perlu dijaga karena di sekitar itu adalah tempat untuk kehidupan lebih berbagai jenis udang, kepiting, ikan, kerang-kerangan, dll. Bayangkan bila hutan bakau musnah, tentulah kehidupan flora dan fauna yang dibutuhkan manusia akan musnah pula.
Potensi lahan untuk pertahanan udang windu tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa wilayah di antaranya yang telah diteliti Direktorat Jenderal Perikanan, disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel penyebaran potensi lahan pertambakan Indonesia
        Luas Hutan        Potensi Lahan (Ha)    Tambak
    Propinsi    Bakau (Ha)            yang ada
            10%    20%    (ha)

    Jumlah    4.290.292    420.000    840.000    212.695

    Sumatera    689.616    67.000    134.000    27.125
        DI. Aceh    54.335    5.000    10.000    26.012
        Sumatera Utara    60.000    6.000    12.000    885
        Sumatera Barat    12.125    1.000    2.000    3
        Riau    276.000    27.000    54.000    60
        Jambi    68.000    6.000    12.000    -
        Sumatera Selatan    198.000    19.000    38.000    -
        Bengkulu    10.156x)    1.000    2.000    -
        Lampung    17.000    2.000    4.000    165


    Jawa    49.935    4.800    9.600    114.503
        DKI. Jakarta    95    -    -    1.163
        Jawa Barat    28.513    2.800    5.600    40.257
        Jawa Tengah    13.577    1.300    2.600    23.166
        DI. Yogyakarta    BD    -    -    -
        Jawa Timur    7.775    700    1.400    49.917
   
    Bali-NT-Timor    7.458    500    1.000    3.160
        Bali    1.950    100    200    304
        NTB    3.678    300    600    2.558
        NTT    1.830    100    200    298
        Timor Timur    BD    -    -    -

    Kalimantan    383.450    37.000    74.000    1.598
        Kalimantan Barat    40.000    4.000    8.000    -
        Kalimantan Tengah    10.000    1.000    2.000    -
        Kalimantan Selatan    66.650    6.000    12.000    414
        Kalimantan Timus    266.800    26.000    52.00    1.184

    Sulawesi    116.833    10.700    21.400    66.298
        Sulawesi Utara    4.883    500    1.000    193
        Sulawesi Tengah    17.000X)    1.700    3.400    486
        Sulawesi Selatan    66.000    6.000    12.000    63.787
        Sulawesi Tenggara    29.000    2.500    5.000    1.832

    Maluku-Irian Jaya    3.043.000    300.000    600.000    11
        Maluku    100.000    10.000    20.000    -
        Irian Jaya    1.943.000    290.000    580.000    11

    Keterangan :     BD    =     Belum ada data
            X)     =         Data dari Dinas Perikanan Propinsi   
           
Lahan tambak untuk budidaya kepiting yang umumnya dilakukan oleh petani dan memberikan hasil yang baik  adalah tambak yang memiliki kedalaman antara 0,8 – 1 m.  Lahan tersebut terletak pada daerah sekitar muara sungai dengan kisaran salinitas antara 15 – 30 ppt. Kandungan tanah tambak berlumpur dengan tekstur liat berpasir (sandy clay) atau lempung berliat (silty loam) dengan perbedaan pasang surut antara 1,5 – 2  dinilai cukup baik.
Demikian pula tambak yang biasanya digunakan untuk budidaya udang dan bandeng. Tambak tersebut juga dapat digunakan untuk pemeliharaan kepiting bakau khususnya tambak tradisional.
Untuk pembesaran pada skala kecil misalnya 0,25 – 0,5 hektar, kita dapat memanfaatkan lahan marginal yang belum layak untuk budidaya udang  atau bandeng, tetapi bisa dimanfaatkan untuk budidaya kepiting. Akan tetapi, keliling tambak harus dipasang pagar anyaman bambu. Dengan demikian, kepiting tidak akan kabur. Kita tahu bahwa kepiting memiliki capit-capit yang kuat untuk membuat lubang.



















Gambar 3.1. Tambak yang diberi anyaman bambu pada kelilingnya

Dalam pemilihan lokasi yang layak faktor utama yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
(a)     adanya sumber air yang memunuhi syarat mutu dan jumlah terhindar dari sumber pencemaran,
(b)     merupakan fishing ground kepiting bakau, tersedia pakan secara cukup dan kontinu
(c)     terdapat sarana dan prasarana produksi dan pemasaran yang memadai
(d)     ketersediaan tenaga tekhis yang terampil dan memiliki dedikasi kerja yang baik
(e)     dan lain lain pertimbangan yang menunjang keberhasilan dan kelancaran produksi.

2.     Tata Letak, Desain, dan Konstruksi Tambak
Tata letak (lay out), desain, dan konstruksi tambak harus dirancang sedemikiian rupa. Dengan cara demikian akan memungkinkan perolehan air yang cukup untuk kebutuhan kehidupan kepiting bakau secara optimal, memudahkan dalam pengelolaannya, dan pembangunannya dapat dilaksanakan dengan konstruksi yang memenuhi syarat dan hemat biaya. Penentuan tata letak, desain, dan konstruksi tambak tidak ada ketentuan yang standar, melainkan disesuaikan dengan keadaan lahan dan sumber pengairan.

a.     Tata letak
Tata letak pertambakan dalam suatu hamparan, hendaknya disesuaikan dengan posisi hamparan lahan terhadap sumber pengairannya, yaitu laut dan  atau sungai. Perhatikan gambar tata letak unit tambak yang disesuaikan dengan sumber pengairan.






















Gambar. 3.2. Tata letak unit tambak 

Gambar di atas merupakan tata letak suatu unit tambak yang dianjurkan oleh Bank Dunia di Indonesia pada tahun 1975-1978, pada proyek intensifikasi tambak. Komponennya lengkap, yaitu petak pendederan 2 buah, petak penggelondongan 2 buah, petak pembesaran 2 buah. Pada waktu itu penggunaanya untuk polikultur bandeng dan udang. Kini, kita dapat mencampurnya dengan kepiting bakau.

Dalam menentukan tataletak tambak, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.     Petak-petak pertambakan minimum harus 50 m dari garis pantai. Dalam jarak lebar 50 m itu hendaknya dipelihara/dilestarikan jalur hijau yang bisa berupa tumbuhan pohon api-api atau bakau. Jalur hijau ini gunanya untuk melindungi pantai dari kerusakan oleh pukulan ombak yang keras dari laut.
2.     Unit tambak harus minimum berjarak 15 m dari tepi sungai dan terpelihara sebagai jalur hijau juga untuk mencegah longsor.
3.     Saluran pemasok air hendaknya terpisah dengan saluran pembuangan.
4.     Saluran hendaknya tidak memotong tegak lurus terhadap kontur lahan. Ini untuk mencegah penggerusan dasar dan supaya gerakan air tidak terhambat.
5.     Pembuatan saluran-saluran harus mengingat kepentingan atau tidak mengganggu kepentingan perolehan air bagi pertambakan (milik orang lain) di sekitarnya.

Ketentuan mengenai jarak tambak dari garis pantai harus dipatuhi. Itu merupakan peraturan pemerintah pusat dan daerah mengenai hutan bakau. Hutan bakau menjadi wewenang Departemen Kehutanan untuk mengatur pengunaannya. Wilayah hutan lindung, tidak boleh sama sekali dijadikan pertambakan. Penggunaan hutan bakau harus memperoleh izin dari pemerintah daerah yang berupa Hak Guna Usaha.

b.     Desain dan Konstruksi Tambak
Tambak merupakan modal dasar dalam usaha beternak Kepiting bakau. Tambak yang baik dan memenuhi persyaratan teknis akan mampu mendukung peningkatan produksi dan kelestarian usaha. Hal ini mengingat tambak merupakan tumpuan kehidupan petani tambak hari ni sampai yang akan datang.
Mengingat tambak merupakan tumpuan bagi peternak kepiting bakau, proses perencanaan, pembuatan dan pemeliharaan konstruksi tambak memerlukan ketelitian dan kecermatan yang sesuai dengan teknik yang dianjurkan. Untuk membuat konstruksi tambak yang baik memang memerlukan modal yang tidak sedikit, yang dalam hal ini hanya mampu dilaksanakan oleh patani yang bermodal besar, sedangkan untuk petani kecil tidak mungkin karena terbatasnya modal.
Meskipun demikian, petani kecil (usaha pertambakan rumah tangga) tidak perlu berkecil hati karena pembuatan tambak dapat dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan dana dan prasana yang tersedia.
Bentuk tambak dapat disesuaikan bergantung pada keadaan areal dan keinginan kita. Namun, pada umumnya bentuk tambak persegi panjang atau bujur sangkar. Sisi panjangnya sebaiknya maksimum160 m supaya pemasukan air dari suatu sisi ke sisi lainnya, bisa menimbulkan arus yang masih cukup kuat. Lebar petakan (sisi pendek) sebaiknya seragam agar memudahkan dalam pemanenan. Harus menjadi pertimbangan pula arah angin yang bertiup secara mencolok (dominan di lokasi tersebut. Sisi panjang petakan hendaknya tegak lurus terhadap arah angin. Hal ini bertujuan agar angin yang bertiup tidak menimbulkan gelombang pada air terlalu kuat. Bila sisi panjang petakan sejajar arah angin, gelombang air dalam petakan menjadi cukup kuat, sehingga merusakkan tanggul (erosi).









Gambar 3.3 Bentuk petak tambak dan arah angin.
Luas tiap petakan untuk tambak semi intensif 1 ha sampai 3 ha. Untuk tambak intensif 0,2 ha sampai 0,5 ha perpetak. Makin kecil petakan main mudah dalam mengelola airnya.
Tambak yang tanggul dan dasarnya dari tanah umumnya luasnya tidak lebih sempit dari 0,5 ha. Bila tanggul dari beton/semen luasnya dapat dibuat 0,1 ha perpetakan. Apakah dasar tanggul cukup dari tanah ataukah harus dari beton? Hal itu bergantung pada sifat tanah. Tanah yang tidak mudah merembeskan air, yaitu tanah liat sampai liat sedikit berpasir, tidak perlu dibeton, sebab pembuatan beton sangat mahal.
















Gambar 3.4 Tambak tanpa beton yang dikelola secara intensif

Pada kondisi mutu air  rendah, ketersediaan makanan tidak mencukupi dan kondisi biologis kepiting mencapai matang telur untuk migrasi ke arah laut diduga merupakan salah satu faktor kepiting berusaha meloloskan diri dari tempat pemeliharaan. Keberhasilan kepiting meloloskan diri dari pemeliharaan karena kepiting menggali lubang lewat pinggir pematang atau pintu air.Untuk menghindari hal tersebut,  konstruksi  pematang  dan pintu air perlu mendapat perhatian. Untuk mengurangi kemungkinan hilangnya  kepiting karena keluar dari tambak, dilakukan pemagaran baik dengan kere bambu maupun waring.
Berdasarkan hasil pengamatan kepiting bisa lolos dengan memanjat pada waring. Hal ini disebabkan waring memiliki lubang-lubang yang mudah sebagai pegangan bagi kaki renang kepiting. Konstruksi pagar yang terbuat dari bambu, dengan cara pemasangan bagian yang halus menghadap petak tambak sulit bagi  kepiting untuk lolos dengan cara memanjat.















Gambar 3.5. Tambak dengan kontstruksi pagar yang terbuat dari bambu.

Pada tambak pembesaran tradisional dengan kepadatan rendah (0,5 – 1 /m2) pada umumnya petani tidak menggunakan pagar keliling. Mereka  berpendapat selama kondisi air baik dan makanan cukup kepiting tidak akan keluar. Pemagaran keliling untuk  pola tradisioanal jarang dilakukan karena disamping kepadatan rendah,  juga luas petakan berkisar antara 2-8  hektar sehingga dinilai tidak ekonomis.
Oleh karena itu, untuk usaha budidaya pembesaran dengan sistem penebaran 1 –2 ekor/m2 mereka menggunakan waring untuk pagar keliling. Walaupun petani mengetahui bahwa kepiting dapat memanjat waring, dengan pemberian pakan yang cukup mereka percaya bahwa kepiting tidak akan meloloskan diri. Keuntungan pagar keliling dengan waring, antara lain mudah dan cepat pemasangannya, serta memiliki daya tahan atau umur ekonomis yang cukup baik.
Bagi pematang  yang cukup kokoh dengan lebar antara               2–4 m, pemasangan pagar dilakukan di atas pematang bagian pinggir dengan ketinggian cukup 60 cm. Akan tetapi, bila tanpa pematang atau pematang tidak cukup kuat/tebal pemasangan dilakukan pada kaki dasar pematang dengan tinggi minimal 1 meter, dimana sekitar 30 cm ditanam ke dasar untuk menghindari kepiting lolos. Tinggi pagar bambu akan bergantung pula pada keadaan kondisi tanah, kedalaman lumpur, dan tinggi air.

3.     Persiapan dan Penyimpanan Benih
a.     Sumber benih
Hingga saat ini, kita belum dapat mengembangbiakkan kepiting bakau. Hal ini  karena perkembangbiakan yang diuji coba masih sering mengalami kegagalan. Oleh karena itu, benih kepiting untuk dibudidayakan masih diperoleh dari alam. Dengan demikian, kita harus menjaga keseimbangan alam agar senantiasa  kita memperoleh benih-benih untuk dibudidayakan.
Bayangkan bagaimana jika hutan mangrove yang kita miliki di seluruh pantai Indonesia terganggu oleh manusia karena pembukaan lahan untuk tambak? Tentunya, berbagai makhluk memanfaatkan hutan itu untuk berkembangbiak kehilangan tempatnya. Beberapa di antaranya berbagai jenis udang, ikan, dan kepiting. Yang rugi adalah kita sendiri. Kita akan mengalami kesulitan untuk memperoleh benih.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kepiting bakau memijah sepanjang tahun, sehingga benih dapat diperoleh setiap waktu. Namun, bayangkan bila kita telah sulit untuk memperoleh benih dari alam. Tentunya, kepiting bakau akan sulit didapat. Akibatnya, harga kepiting bakau akan melonjak naik.
 Biasanya, benih kepiting diperoleh dari muara sungai. Untuk mendapatkan benih tersebut, para petani biasanya menggunakan alat tangkap. Alat-alat tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk usaha budidaya dari hasil tangkapan langsung dilakukan seleksi ukuran yang ditebar dalam petak pembesaran, petak penggemukan, petak produksi kepiting bertelur dan atau dijual langsung bagi yang telah memenuhi persyaratan pasar lokal maupun ekspor.

1)    Seser
Seser adalah salah satu alat penangkapan benih kepiting, ikan atau udang di perairan dangkal. Alat ini mirip serok, tetapi pada umumnya dilengkapi dengan tangkai untuk alat pegangannya. Seser berupa saringan yang terbuat dari bahan kain atau nilon dengan rangka dari kayu, bambu, besi, atau bahan lain. Bentuknya bermacam-macam, antara lain: bulat, lonjong, persegi, dll. Ukurannya biasanya kecil karena alat ini dipakai secara normal.

2)    Serok
Serok adalah alat penangkap kepiting, ikan, dan udang di perairan dangkal. Serok terbuat dari bambu yang di anyam dan diberi rangka. Alat ini dipakai secara manual. Bentuknya dapat bulat dan lonjong. Ukuran serok dan mata jaringnya disesuaikan dengan ukuran dan jenis ikan yang ditangkap.

b.     Penanganan dan pengangkutan benih
Benih yang diperoleh dari alam tentunya memiliki ukuran yang berbeda. Oleh karena itu, kita perlu melakukan pengelompokan.
Adapun ukuran-ukuran benih yang mungkin diperoleh adalah antara 5 hingga 50 gram. Adapun cara penanganan dan pengangkutannya masing-masing dikelompokkan sebagai berikut.

1)    Benih berukuran 5 – 25 g
Benih kepiting berukuran berat 5-25 g  biasanya belum  diikat. Oleh karena itu,  penanganannya agak sulit. Bibit akan mudah mengalami kerusakan. Faktor-faktor penyebabnya adalah karena perkelahian dan mungkin perlakukan yang tidak hati-hati. Kita ketahui bahwa kaki-kaki benih di usia seperti itu sangat lemah dan  mudah patah/lepas.
Benih seperti ini dapat ditampung atau diangkut dengan menggunakan keranjang  bambu yang berlubang kecil.  Atau, kita dapat menggunakan wadah plastik yang dilengkapi dengan penutup. Lalu, ke dalam keranjang tersebut dimasukan daun dan ranting bakau yang berfungsi sebagai pemisah. Sebuah keranjang berukuran 40 x 30 x 35 cm dapat diisi 300-500 ekor benih. Apabila penampungan/pengangkutan dilakukan lebih dari satu hari, maka kepiting perlu dibasahi atau dicelup ke dalam air payau selama kurang lebih lima menit, sekali setiap hari.

2)     Benih berukuran 26 – 50 g
Benih berukuran berat 26 – 50 g dapat diperoleh dari penangkap atau pengumpul yang biasanya tersedia dalam keadaan terikat, sehingga penanganannya cukup mudah. Seleksi benih dapat dilakukan dengan mudah baik kesehatan maupun jenisnya. Penampungan/pengangkutan dapat dilakukan dengan menggunakan keranjang bambu atau wadah plastik berukuran 45 x 35 x 35  cm dengan kepadatan 300-400 ekor/keranjang. Kepiting disusun rapi (tidak terbalik) di dalam keranjang dan dilakukan perendaman selama kurang lebih setiap 5 menit sekali, terutama apabila penampungan/pengangkutan dilakukan lebih dari satu hari.
Apabila didapatkan kepiting yang mati pada saat pencelupan, harus segera dibuang untuk menghindari pembusukan yang mempengaruhi kesehatan kepiting yang lain.
Benih kepiting yang diperlakukan seperti di atas dapat bertahan hingga satu minggu tanpa pemberian pakan. Namun, alangkah baiknya, jika penebaran ke dalam petak pembesaran dilakukan segera setelah penangkapan. Dengan demikian, tingkat kematian benih dapat diturunkan.
Di sinilah lokasi tambak berperan. Lokasi tambak akan sangat baik jika letaknya tidak jauh dari sumber pencarian benih.
Lokasi tambak yang letaknya tidak jauh dari sumber hidup benih juga sangat bermanfaat untuk mendatangkan benih secara alami. Kita tahu bahwa pada umumnya kepiting mencari makan pada saat air pasang. Tentunya, mereka akan sampai ke tambak pembesaran. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh kita untuk menangkap benih tersebut yaitu dengan menggunakan alat baited traps. 

4.     Penebaran
Menurut penelitian para ahli dengan mengamati petani menunjukkan bahwa  pada budidaya secara polikultur yaitu kepiting dengan bandeng, benih kepiting dengan berat antara 20-50 ditebar dengan perbandingan 1000. hingga 2000 ekor/hektar tambak dan ikan bandeng dengan berat 2-5 g ditebar dengan kepadatan 2000-3000 ekor /ha.
Lain halnya dengan pembudidayaan monokultur yaitu kepiting saja. Lahan tambak seluas satu hektar dapat diisi 5000 hingga 15000 ekor. Kita tinggal saja memilih mana yang akan digunakan budidaya monokultur atau polikultur.

5.     Pemeliharaan
Pada umumnya sependapat bahwa pakan ikan segar lebih baik  ditinjau dari fisik maupun kimiawinya. Pakan segar ini mudah tenggelam dan peluang dimakan lebih besar karena kepiting senang berada di dasar. Berlainan ikan kering tawar dan usus ayam pada waktu diberikan terapung, sehingga kepiting agak lama untuk mengetahuinya adanya pakan. Di samping itu sering karena adanya gerakan air oleh angin dan sebagainya makanan yang terapung tersebut pindah dan mengumpul di satu tempat.

Sifat dan tingkah laku Kepiting Bakau

Sifat dan tingkah laku Kepiting Bakau
Agar dicapai suatu keberhasilan dalam suatu kegiatan budidaya, kita perlu mengetahui sifat-sifat dan tingkah laku kepiting. Hal itu dilakukan untuk memberikan kenyamanan pada kepiting bakau di tempat yang kita sediakan. Dengan demikian, tingkat kematiannya dapat diturunkan. Kemudian,  perkembangannya akan berjalan secara pesat.
 Adapun sifat dan tingkah laku kepiting bakau tersebut adalah sebagai berikut.

1.     Gemar Berendam di dalam Lumpur, Membuat Lubang, dan Memanjat.
Hal ini sangatlah wajar karena kepiting memiliki capit-capit yang kuat untuk membuat lubang, dan kaki-kaki yang kuat dan tajam untuk memanjat. Kebiasaan ini perlu kita waspadai. Jika tidak, kepiting akan kabur dari media yang kita gunakan. Oleh karena itu, desain dan konstruksi wadah pemeliharaan perlu diperhitungkan agar kepiting tidak dapat melarikan diri.

2.     Kanibalisme dan Saling Menyerang
Sifat kepiting yang mencolok, yaitu sifat kanibalisme dan saling menyerang.  Sifat ini sangat merugikan pengusaha budidaya kepiting karena akan terjadi tingkat kematian yang tinggi. Lalu, tindakan apakah yang perlu kita lakukan untuk menghadapi kondisi tersebut.
3.     Ekdisis Atau Ganti Kulit
Seperti halnya crustacea yang lain, proses pertumbuhan kepiting berkaitan erat dengan proses ekdisis. Rangka luar yang telah menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan, karena bersifat tidak elastis.
Oleh karena itu, untuk tumbuh, kepiting harus menanggalkan kulit tuanya  dan membuat kulit baru yang lebih besar.
Berdasarkan hasil pengamatan, kepiting mengalami ganti kulit selama 18 kali dari stadia instar hingga dewasa. Hasil pengamatan kepiting yang mengalami ganti kulit bisa mati karena tidak berhasil melepaskan diri secara sempurna dari kulit yang tua (bagian karapas, atau kaki capit). Karena proses  ganti kulit ini memerlukan energi dan gerakan yang cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup.
Pengamatan di keramba terapung yang terdiri dari kotak-kotak ukuran 20 x 20 cm sering dijumpai kepiting yang mengalami kegagalan ganti kulit dan mati. Hal ini diperkirakan karena gerakan waktu ganti kulit tergangggu oleh sempitnya ruang yang tersedia.
Frekuensi ganti kulit bervariasi dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum, frekuensi ganti kulit lebih sering terjadi pada saat stadia awal dibanding dengan stadia dewasa. Dengan demikian, kecepatan tumbuh kepiting terjadi pada saat kepiting muda.

4.     Sensitif Terhadap Bahan Cemaran
Saat membudidayakan kepiting bakau di keramba apung, mungkin saja kematian masal terjadi. Hal ini terjadi mungkin karena penurunan mutu lingkungan/air. Kepiting tidak dapat menghidari diri karena terkurung di dalam  ruangan keramba itu.
Penurunan mutu air  mungkin terjadi karena kelebihan sisa  pakan yang akhirnya membusuk. Namun, mungkin pula karena bahan cemaran lainnya. Saat itu, kondisi kepiting akan menjadi lemah dan tidak berdaya. Ia akan diam saja jika disentuh. Bahkan, ia pun tidak mau makan. Jika hal ini dibiarkan begitu saja kepiting akan mati.
Namun, kita masih bisa menyelamatkan kondisi itu. Langkah-langkah yang  perlu kita lakukan adalah segera memindahkan kepiting ke dalam tempat yang berisi air bersih. Kemudian, bersihkan keramba tersebut. Jika keramba telah bersih kembali dapat ditempatkan kembali ke perairan dan kepiting dapat dimasukkan kembali ke dalam keramba. Lambat laun, kepiting akan segar kembali.
Pemeliharaan kepiting dalam keramba apung yang ditempatkan di bak pemeliharaan ikan kakap. Suatu saat terjadi kematian masal baik ikan kakapnya maupun kepitingnya. Hal ini disebabkan  pemberian pakan ikan kakap yang berupa ikan rucah terlalu banyak dan berlebih yang akhirnya terjadi pembusukan selama satu malam secara hebat sehingga keduanya mati. Setelah dilakukan pembersihan dengan segera untuk pemeriksaan mutu air ternyata bau busuk terasa sekali pada kolam air bagian dasar  bau amoniak sangat mencolok diduga sebagai penyebab kematian.

Jenis Kepiting Bakau

jenis Kepiting Bakau
Sedikitnya, ada tiga jenis kepiting bakau (Genus: Scylla) bernilai ekonomis, yaitu: (1) Scylla serrata, (2) Scylla oceanica, (3) Scylla transquebarica. Secara morfologi, ketiga jenis kepiting bakau tersebut dapat dibedakan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Scyla serrata adalah jenis kepiting bakau yang berwarna keabu-abuan sampai hijau kemerah-merahan. Scylla oceanica adalah kepiting bakau yang berwarna kehijauan. Pada hampir seluruh bagian tubuhnya, kecuali bagian perut, terdapat garis-garis berwarna coklat. Scyla transquebarica adalah jenis kepiting bakau yang berwarna kehijauan hingga kehitam-hitaman. Pada kaki renangnya terdapat garis-garis berwarna coklat.
Perbedaan yang tampak secara umum, Scylla oceanica dan Scylla Transquebarica memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan S. Serrata pada umur yang sama.
Di pasar-pasar lokal, ketiga jenis kepiting  bakau tersebut sering dijumpai. Ke tiga jenis kepiting tersebut dijual kepada konsumen dengan harga yang tidak berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.
Namun, menurut beberapa pedagang perantara, pemasaran antarpulau dan ekspor, Scyla Serrata dihargai lebih tinggi. Bahkan, permintaan kepiting bakar jenis ini lebih besar dibanding permintaan kepiting  jenis lainnya

Ciri-Ciri Kerang Hijau

ciri-ciri kerang hijau
Kerang hijau termasuk dalam golongan binatang lunak yang hidup di laut dan mempunyai cangkang berwarna hijau. Jenis kerang ini banyak terdapat di perairan-perairan dekat muara, biasanya hidup menempel di batu-batu karang, tiang-tiang bagan atau tiang-tiang dermaga di pelabuhan.
Di Indonesia, kerang hijau memijah sepanjang tahun. Tetapi untuk mendapatkan spat, paling banyak dalam bulan-bulan Maret sampai dengan Juli.
Seekor kerang hijau yang telah dewasa menghasilkan telur sebanyak 12 juta telur dan dilepaskan di perairan. Setelah dibuahi , telur-telur tersebut akan menetas menjadi burayak dan hidup melayang-layang di perairan. Setelah kurang lebih dua minggu, burayak tersebut akan mencari substrat untuk menempel dan tumbuh menjadi kerang dewasa. Kecepatan tumbuh kerang hijau antara 0,7 – 1,0 cm per bulan. Setelah berumur 6 – 7 bulan, kerang hijau sudah dapat dipanen.
Di beberapa negara Asia, kerang hijau sudah dibudidayakan oleh masyarakat luas sejak puluhan tahun yang silam. Bahkan, di beberapa negara Eropa sudah diusahakan sejak berabad-abad yang lalu.
Dengan banyaknya negara-negara yang telah mengembangkan usaha budidaya kerang hijau, sudah selayaknyalah usaha ini juga dikembangkan di Indonesia. Di samping untuk meningkatkan produksi perikanan dan penyediaan protein hewani bagi masyarakat luas, juga usaha ini dapat membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Khusus bagi nelayan tradisional, budidaya kerang hijau ini merupakan penganekaragaman usaha yang bisa mengisi kekosongan kegiatan dan memberikan pendapatan yang menjamin sepanjang tahun. Hal ini sangat penting, terutama sekali mengingat para nelayan  tradisional pada umumnya tidak dapat menangkap ikan  sepanjang tahun karena adanya hambatan musim dan cuaca.














a.     cangkang  
b.     daging segar      
c.     daging yang telah direbus

Gambar 1. Kerang Hijau

Kerang Hijau mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kadar garam garam dan tumbuh dengan baik pada kadar garam 27 – 35%, suhu perairan 27 – 32 C, pH 6 – 8, kecerahan air 3,5 – 4,0 meter, arus tidak begitu kuat dan biasanya hidup pada kedalaman 1 – 7 meter. Mereka mengambil plankton nabati sebagai makanannya.

ANALISIS USAHA BUDIDAYA UDANG WINDU

ANALISIS USAHA BUDIDAYA UDANG WINDU

Dalam usaha Udang Windu [Penaeus] biasanya besar kecilnya
    keuntungan bergantung pada sistem budidayanya. Tentu saja semakin besar atau luas lahan tambaknya dan semakin intensif cara pemeliharaannya semakin besar pula keuntungan yang diperoleh, tetapi risiko pengelolaannya menjadi lebih besar pula. Risiko yang besar biasanya terjadi dalam keadaan yang tidak diduga, misalnya harga yang jatuh di pasaran, wabah penyakit, kualitas air yang memburuk, makanan yang buruk dapat menyebabkan udang biru dan sebagainya. Biasanya hal tersebut dapat dihindarkan apabila perencanaannya dilakukan dengan hati-hati dan mantap, kecuali pada kondisi yang pertama yaitu jatuhnya harga; hal tersebut sulit diperkirakan. Jatuhnya harga udang biasanya sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dunia, yaitu berupa naiknya nilai tukar mata uang, embargo komoditas udang dan penurunan mutu udang yang diekspor. Apabila harga jatuh, yang paling merasakan akibatnya adalah pengusaha tambak udang intensif, karena pada waktu produksi melimpah udang tidak dapat dijual, padahal udang tersebut tidak tahan lama, sehingga proses pembusukan tidak dapat dihindarkan dan akhirnya terbuang. Berikut akan diutarakan mengenai perhitungan usaha budidaya Udang Penaeus dengan tambak yang berukuran 1 ha/tahun dalam bentuk tabel.
Tabel Analisis Usaha tambak udang semi intensi 1 ha/th
    Kegiatan    Pengeluaran    Pemasukan    Keuntungan
A.    Pembuatan tambak
    1.     Beli tanah    10.000.000
    2.     Pembuatan Kolam   
        a. Penggalian    1.000.000
        b. Saluran air    96.000
        c. Saluran Pembuangan    104.000
        3.     Penimbunan tanah    265.000
    4.     Pintu air    725.000
    5      Peralatan    2.025.000
    6      Bangunan    1.000.000
B.    Biaya Penyediaan benih,
       pakan dan obat-obatan
    1. Pembelian Benur
       2 X 4000 ekor, @ Rp 50,00    1.000.000
    2. Pembelian Pakan    2.000.000
    3. Pestisida dan obat [2X]    150.000
C. Biaya operasional
    1. Tenaga kerja   
        a.    Teknisi
            1 orang, Rp 100.000,/
            bulan
               b.    Tenaga Kasar
            1 orang, Rp 50.000/bulan    1.200.000
      2.    Bahan bakar &    
        Perbaikan tambak    600.000
      3.    Panen 2X    250.000
D.     Hasil Produksi
       1.    Penjualan, Rp 15.000,00/Kg    300.000
       2.     Penyusutan        30.000.000
                3.000.000

JMLH PROF MARGIN
BENEFIT COSTRATIO      26.715.000    30.000.000     3.285.000
                        12,30%/1,12
    Tabel Analisis Usaha tambak udang semi intensi 1 ha/th

    Kegiatan    Pengeluaran    Pemasukan    Keuntungan
A.    Pembuatan tambak
    1.     Beli tanah   
    2. Pembuatan Kolam
          a. Penggalian
          b. Saluran air
          c. Saluran Pembuangan
    3. Penimbunan tanah
        4. Pintu air
        5  Peralatan
        6  Bangunan
B.     Biaya Penyediaan benih,
       pakan dan obat-obatan
        1. Pembelian Benur
       2 X 400.000 ekor,
        @ Rp 50,00
        2. Pembelian Pakan
        3. Pestisida dan obat [2X]
C.     Biaya operasional
        1.     Tenaga kerja
                a.     Tenaga Ahli
                      1 orang, Rp 300.000/bulan
               b.     Teknisi
                     2 orang, Rp 150.000,/bulan
               c.     Tenaga Kasar
                     2 orang, Rp 75.000/bulan
    2. Bahan bakar & Perbaikan
        tambak
    3. Panen 2X        270 Juta
D.     Hasil Produksi
       1. Penjualan,
        Rp 15.000,00/Kg
       2. Penyusutan
    
JMLH PROF MARGIN     191.504.000    270 Juta     78.496.000
BENEFIT COSTRATIO              32,30%
                        1,32

Penyakit yang sering menyerang Udang Penaeus

Penyakit Udang Penaeus
Penyakit-penyakit yang sering menyerang udang dan tidak bergantung dengan kondisi air, dimasukkan dalam 4 jenis agen penyakit. Agen-agen ini dapat menyebabkan bermacam-macam akibat, yaitu secara kronis mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan menurunkan kualitas udang sedangkan yang bersifat akut dapat menyebabkan kematian. Penyakit-penyakit tersebut asal virus, bakteri, parasit dan jamur.
a.     Penyakit yang disebabkan Virus
Virus merupakan mikroorganisme yang berkuran sangat kecil, lebih kecil dari inti sel udang itu sendiri. Virus ini hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron dan biasanya berada di dalam sel [intra cellular]. Ada 4 jenis virus yang telah diketahui menyerng udang penaeus, yaitu “Monodon Baculo Virus” [MBV], “Infectious Hypodermal Haematopeietic Necrosis Virus” [IHHNV], “Hepatopancreatic Parvo like Virus” [HPV], dan Cytoplasmic Reo-like Virus” [CRV]. Terdapat sejenis mikrooganisme lain yang tidak tergolong di dalam kelompok virus, walaupun mikroorganisme ini tempatnya di dalam sel [intra cellular, yaitu penyakit “Ricketsia”. Kebanyakan penyakit asal virus tersebut menyerang udang-udang muda.
1.     Monodon Baulo Virus [MBV]
Virus ini pertama ditemukan pada kolam pembenihan udang windu dan kemudian sering dijumpai menyerang udang-udng pada masa pembenihan; serangan Penyakit ini sering muncul pada waktu pemindahan post larva ke kolam perkembangan, mungkin disebabkan oleh kondisi yang menurun karena stres. Menurut beberapa orang peneliti, penyakit ini tidak begitu banyak berpengaruh terhadap kehidupan udang, sehingga keberadaannya tidak perlu dikhawatirkan oleh para peternak udang.
2.     Infectious Hypodermal Haematopoietic Necrosis Virus [IHHNV]
Virus ini dilaporkan oleh Lightner [1983] seringkali menyerang udang Penaeus stylirostris, P. vannamei, dan P. monodon, dalam kolam perbenihan di Hawai. Penyakit ini bersifat sangat akut dan mematikan, angka kematian dapat lebih dari 50% pada P. vannamei.
Udang yang terserang menunjukkan gejala berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan, muncul di permukaan dan mengambang dengan perut di atas. kemudian bila alat geraknya [pleopod dan periopod] berhenti bergerak, udang akan tenggelam di bawah kolam. Sejak mulainya timbul gejala tersebut udang akan mati dalam waktu 4 sampai 12 jam. Pada kondisi yang akut, kulitnya akan terlihat keputih-putihan dan tubuhnya berwarna putih keruh. Banyak udang penderita mati pada saat terjadi moulting. Permukaan tubuhnya akan ditumbuhi oleh diatom, bakteri atau parasit jamur. Secara histologis, bentuk akut maupun sbakut dari penyakit virus ini akan ditemukan banyak “eosinophilic inclusion bodies” [benda negri warna kemerah-merahan dalam inti sel]. Pada kulit luar terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antenna, dan pada mukosa usus depan dan tengah. Pencegahaan penyakit ini belum diketahui secara pasti, yang penting adalah perbaikan kualitas air.

3.     Hepatopancreatic Parvo-like Virus [HPV]
Virus ini pernah dilaporkan menyerang periode post larva udang P. orientalis dari cina, P. merguiensis dari Singapura, P. esculentus dari australia dan mungkin juga P. monodon. Gejala dari penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari virus ini belum banyak diketahui secara pasti. Virus ini terutama menyerang organ hepatopankreas, sehingga dalam pemeriksaan hepatopankreasnya dilihat dengan mikroskop memperlihatkan degenerasi dan adanya inklusion bodies dalam sel-sel organ tersebut. Virus juga pernah dilaporkan menyerang udang air  tawar  [Macrobrachium rosenbergi].
4.     Cytoplasmic Reo-like viraus [CRV]
Penyakit asal virus ini dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi pada udang-udang muda jenis P. monodon dalam masa pertumbuhan. Penyakit ini pernah dilaporkan menyerang udang-udang di Malaysia oleh Nash et al [1988]. dalam masa terjadinya ledakan penyakit [out break, kematian udang dimulai pada hari ke 7-9 setelah penebaran benih [stocking] di kolam pada post larva yang berumur 18 hari. Gejala klinis yang terlihat adalah udang berkumpul di tepi kolam dan berenang di permukaan air. Pada keadaan tersebut kematian udang dapat mencapai 5%-10%. Pada pemeriksaan histologi, jelas terlihat adanya vakuolisasi sel-sel hepatopankreas, yang berisi penuh dengan pigment. Sitoplasmanya mengalami degenerasi, juga adanya nekrosa lokal pada epithel heptopankreas. Di bawah mikroskop elektron terlihat adanya sekelompok virus dalam sitoplasma. Pengobatan dan penanggulangannya belum diketahui.
5.     Ricketsiae
Mikro organisme berukuran di antara virus dan bakteri, merupakan kelompok mikroorganisme tersendiri. Seperti halnya pada virus, mikroorganisme ini letaknya di dalam sel, menurut dua orang peneliti Amerika [Lightner [1985] dan Brock [1986], mikroorganisme ini patogen terhadap Udang Penaeus sp.
Gejala yang terlihat adalah ditemukannya banyak udang yang berenang di pinggir kolam dalam keadaan lemah. Udang berwarna lebih gelap daripada biasanya, tak ada nafsu makan, pada beberapa udang terlihat adanya benjolan-benjolan kecil keputih-putihan paada dinding usus bagian tengah. Diagnosa pasti dilakukan berdasarkan ditemukannya koloni ricketsia, adanya peradangan dan pembengkakan jaringan ikat.
Beberapa orang peneliti melaporkan bahwa kematian udang akibat serangan penyakit ini biasa mulai terjadi pada minggu ke-7 atau 9 setelah penebaran benih [post larva hari ke 15 - 25]. angka kematian naik pada hari ke-5 sampai ke-7 sejak mulai terjadi kematian, yang kemudin menurun seminggu kemudian sampai tak ada kematian. Setelah tiga hari kemudian kematian timbul lagi dan begitu seterusnya sampai udang dipanen, angka kematian secara keseluruhan dapat mencapai 90%-95%.
Pengobatan dengan cara pemberian khemoterapi tidak begitu berhasil. beberapa peneliti melakukan pengobatan dengan pengobatan antibiotik [oktitetracyklin, sulfasoxasol dan nitrofurazon] dicampur makanan dapat mengurangi angka kematian, tetapi bila konsentrasi antibiotik turun, kematian akan timbul lagi.

b.     Penyakit yang disebabkan Bakteri
Kuman dari jenis bakteri yang menyerang udang banyak dilaporkan, termasuk genus Vibrio, aeromonas dan Pseudomonas. Beberapa bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen dalam kondisi air yang buruk. Anderson [1988] mengelompokkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri berdasarkan pengaruh patogenitasnya, yaitu dapat menyebabkan nekrosis dan setikemia.
1.     Bakteri Nekrosis
Penyakit ini ditandai dengan ditemukannya nekrosis di beberapa tempat [multifokal], yaitu pada antenna, uropod, pleopod dan beberapa alat tambahan lainnya. Kuman penyebab penyakit ini sering ditemukan, termasuk dalam genus Vibrio. tetapi infeksi dari bakteri ini merupakan infeksi ikutan [infeksi sekunder] yang  disebabkan oleh penyebab lain. Pertama-tama infeksi  ini disebabkan oleh luka, erosi bahan kimia atau yang lainnya, kemudian tempat luka tersebut ditumbuhi oleh bakteri sehingga menyebabkan nekrosis jaringan. Pada kolam pembenihan kejadian infeksi bakteri nekrosis akan naik bila kulaitas air menurun dan air mengandung bakteri dalam jumlah banyak. Udang penderita akan terlihat kecoklat-coklatan pada ujung-ujung alat tambahannya [antena, pleopod dan lain-lain], ddisertai dengan usus yang kosong karena tak ada nafsu makan. apabila kwalitas makanan dan air diperbaiki, angka kematian akan cepat menurun.
Pengobatan yang dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik dalam kolam pembenihan seperti furanace 1 mg/l, oksitetrasiklin 60 - 250 mg/l dan erytromycin 1 mg/l. Pengeringan, pembersihan dan desinfeksi di dalam kolam pembenihan, serta kebersihan alat-alat yang digunakan sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit bakterial nekrosis ini.
2.     Bakteri Septikemia
Bakteri ini biasanya menyerang udang pada larva dan post larva. Seperti halnya bakteri nekrosis, bakteri ini timbul juga sebagai infeksi sekunder, sebagai akibat dari penyebab lain, misalnya defisiensi vitamin C, toxin, luka dan karena stress yang berat [Lightner, 1983]. Agen penyebab dari bakteri septikemia ini adalah: Vibrio alginolictus, V. parahaemolyticus, Aeromonas sp dan Pseudomonas sp. bakteri-bakteri tersebut pernah diisolasi oleh Lightner dan Lewis [1975] sebagai bakteri penyebab septikemia pada udang penaeus. Vibrosis dapat didiagnosis dengan menemukan sel-sel bakteri yang aktif dalam haemolymph [sistem darah udang] pada udang yang menderita. Pewarnaan gram dalam preparat histologi akan terlihat.
Pengobatan dapat dilakukan seperti pada pengobatan bakteri nekrosis. Pemeliharan kualitas air dan sanitasi yang baik dapat mencegah timbulnya penyakit.

c.     Penyakit yang disebabkan organisma Parasit
Seperti halnya pada hewan lain [baik ikan atau hewan darat], beberapa jenis parasit yang menyerang udang. Parasit tersebut tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi, tetapi dalam segi ekonomis serangan parasit itu dapat merugikan. Kerugian ini dapat berupa penurunan berat badan, penurunan kualitas, kepekaan terhadap infeksi virus atau bakteri dan beberapa parasit dapat mengakibatkan kemandulan [Bopyrid]. Secara garis besar infeksi parasit dikelompokkan dalam 2 jenis parasit, yaitu parasit cacing dan parasit isopod. Sementara itu terdapat 3 kelas cacing parasit yang seringkali menyerang udang, yaitu Cestoda, Trematoda dan Nematoda.
1.     Parasit Cacing
Beberapa jenis cacing parasit pada udang yang dibudidayakan pernah dilaporkan oleh Kruse [1959],yaitu Polypocephalus sp. dan Para christianella monomegacantha [cestoda] padaP. merguiensis. Opecoeloides sppada P. stiferus, P. aztecus dan P. durorum, sedangkan Contracaecum sp. Cacing nematoda pada udang penaeus seperti telah disebutkan di atas. cacing-cacing tersebut biasanya berparasit pada jaringan udang, tetapi tidak menimbulkan banyak kematian. Walaupun begitu infeksi parasit ini dapat menimbulkan gangguan ekonomi yang cukup serius. Beberapa penyakit cacing tersebut akan diulas sedikit disini.
1)     Cacing Cestoda
Telah dilaporkan oleh Owens [1981 dan 1985] ada dua spesies cacing cestoda yang berparasit pada udang  P. merguiensis di Australia yaitu Polypocheppalus sp. dan Parachristianella monomegacantha. Jenis yang keduaa ini kebanyakan menyerang udang sejak periode post larva sampai udang dewasa.
Polypocephalus sp adalah cacing dalam kela cestoda, Bangsa Leconicephalidea, famili Leconicephalidae dan genus Polypochepalus. bentuk cyste dari cacing ini terdapat dalam jaaringan ikat di sepanjang syaraf bagian ventral. Sampai sekarang sejauh mana kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi cacing ini belum diketahui secara pasti.
Parachristianella monomegacantha merupakan cacing cestoda yang biasanya berparasit dalam jaringan inter-tubuler hepatopankreas pada udang P. merguiensis. seperti halnya pada Polypocephalus, cacing ini belum diketahui patogenitasnya secara pasti. Tetapi melihat tempat berparasitnya di dalam jaringan hepatopankreas yang merupakan organ penting dari udang, maka cacing ini kemungkinan menghambat proses fisiologis dan metabolisme makanan dalam tubuh udang.
2)     Cacing Trematoda
Cacing trematoda yang pernah dilaporkan berparasit pada udang Penaeus adalah Opecoeloides sp. cacing ini ditemukan pada dinding proventriculus dan usus dari P. setiferus, P. Aztecus dan P. durorum di Mexico. Larva cacing ini ditemukan bermigrasi di jaringan ikat kepala dada dan di sekitar usus. seperti halnya pada cacing cestoda, cacing ini belum diketahui akibat infestasinya.
3)     Cacing Nematoda
Belum banyak dilaporkan mengenai cacing nematoda yang berparasit pada udang. Kruse [1956] melaporkan cacing nematoda jenis Contracaecum sp., merupakan salah satu jenis cacing nematoda yang menyerang hepatopankreas udang yang hidup secara alamiah. cacing ini ditemukan dalam hepatopankreas udang pada periode kedewasaan, yaitu setelah udang mulai bermigrasi menuju laut lepas.
2.     Parasit Isopoda
Parasit yang termasuk bopyrid isopoda yang menyerang Udang Penaeus dapat menghambat perkembangan alat reproduksi dari udang penderita. Parasit Bopyrid isopoda ini menempel di daerah branchial insang [persambungan antara insang dengan tubuh udang]. sehingga menghambat perkembangan gonad [sel telur] pada udang. menurut beberapa peneliti, parasit ini menghambat perkembangan alat kelamin baik udang jantan maupun betina, sehingga terjadi kemandulan. Owens dan Glazebrooks [1985] melaporkan bahwa jenis bopyrid isopoda yang berparasit pada udang P. merguiensis dan P. indicus di semenanjung Carpentaria di Australia adalah: Epipenaeon ingens dan Parapenaeon expansus, dan mereka melaporkan bahwa parasit ini sangat merugikan budidaya Udang Penaeus, terutama udang untuk pembenihan.

d.     Penyakit yang disebabkan oleh Serangan Jamur
Penyakit yang berasal dari Jamur sistemik pada udang periode larva maupun post larva dapat merupakan penyebab angka kematian yang serius pada udang P. monodon. Larva udang yang terserang oleh penyakit jamur ini [mycosis] dapat mati dalam waktu 24 jam. jamur Phycomycetes yang termasuk dalam genera Lagenedium dan Sirolpidium telah dilaporkan menyerang larva udang P. monodon.
Spora jamur ini kecil sekali yaitu berukuran antara 9,1 - 12,5 um, dan apabila berenang di dalam kolam sangat sulit diketahui, sehingga pencegahan sulit dilakukan. Diduga penyebaran spora ini terjadi pada waktu pemberian pakan dan sekali terjadi infeksi, larva udang akan cepat menderita karena larva udang tidak memiliki daya tahan terhadap infeksi hype dari jamur yang tumbuh dengan cepat. Bila terjadi nekrosis pada jaringan udang, maka akan memudahkan timbulnya infeksi sekunder oleh bakteri.
Pengobatan secara kimia [Chemotherapi] tidak efektif. Pemberian malachite green [0,006 - 0,1 mg/l] atau trifuralin [0,01 ppm] 3-6 kali sehari akan mencegah penyebaran jamur ke larva yang sehat. Pencegahan utama ialah dengan jalan filtrasi air laut yang bersih atau air laut yang diberi malachite green atau trifulralin, karena dapat menghilangkan zoospora dari jamur [Lightner et alm, 1984].

Hama Tambak Udang

Hama Tambak
Hama tambak termasuk salah satu kendala produksi, karena sangat merugikan petani tambak yaitu dapat merusak konstruksi tambak, efisiensi pemberian pakan jadi berkurang dan dapat mengurangi produksi udang. Hama tambak dikelompokkan menurut jenis kerugiannya menjadi tiga bagian besar, yaitu yang disebabkan oleh Hama Pemangsa Udang, Hama Pesaing dan Hama Pengganggu. Pada Sub bab berikut masing-masing hama akan dijelaskan lebih lanjut.

a.     Hama Pemangsa Udang
Hama pemangsa ini terdiri dari beberapa jenis hewan, antara lain jenis ikan buas, seperti ikan kakap [Lates calcarifer], payus [Elops hawaiensis] dan lain-lain. Jenis ular air, seperti Cerberus rhynchops, Fardonia leobalia. Beberapa jenis burung pemangsa udang, seperti burung pecuk [Phalacrocorax javanicus] Anhingarufa melanogaster, burung blekok [Ardeola rallaoides speciosa], burung bangau [Leptotilus javanicus]. Disamping hewan-hewan tersebut beberpa jenis hewan air lainnya juga menjadi pemangsa udang di tambak, misalnya kepiting, tikus air dan yang lainnya.

b.     Hama Pesaing [Kompetitor]
Hama pesaing, yaitu jenis-jenis hewan air yang ikut hidup di dalam tambak dan memakan udang, sehingga terjadi persaingan dalam memperebutkan makanan yang diberikan. Termasuk dalam jenis hewan ini ialah: Ikan liar, seperti ikan belanak [Mugil sp], ikan mujair [Tilpia mossambica]. Jenis siput, seperti trisipan [Cerithidea cingulata], congcong [Telescopium telescopium]. Hewan-hewan tersebut selain bersaing dalam memperebutkan makanan juga merusak dasar tambak, sehingga plankton yang tumbuh di atasnya dapat rusak dan mati.

c.     Hama Pengganggu
Hama yang sering merusak tambak termasuk hama pengganggu. Hewan yang termasuk dalam golongn ini sering membuat lubang di pematang-pematang tambak, sehingga mengakibatkan bocornya tambak, juga suka menggerogoti kayu yang digunakan sebagai pintu air. Hewan tersebut adalah jenis kepiting [Syllacia serrata], jenis remis [Teredo navalis].
Pemberantasan dan penanggulangan hama tambak tersebut antara lain dilakukan dengan memanfaatkan obat anti hamaa [pestisida] untuk membunuh hama-hama tersebut. Pestisida yang digunakan dapat berupa bahan tradisional maupun bahan kimia dari pabrik yang tujuannya adalah membunuh hama tetapi tidak mengganggu udang itu sendiri.
Bahan tradisional, berupa bahan-bahan nabati yang mudah diperoleh dan bersifat racun terhadap hama tambak yaitu tembakau, biji teh dan akar ketuba. Untuk bahan tembakau, daun tembakau dipotong kecil-kecil atau ditumbuk menjadi serbuk yang kemudian ditaburkan ke dalam tambak. Untuk bahan biji teh, biji teh tersebut direndam di dalam air sehari semalam, kemudian ditumbuk sampai halus dan ditebarkan merata ke dalam tambak. sedangkan untuk akar tuba, akar tersebut dipotong-potong, direndam dalam air sehari semalam, kemudian ditumbuk halus, diperas dan ditebarkan ke dalam kolam.

Tabel Bahan tradisionl pembasmi hama tambak

    Bahan                    Bahan aktif                  jumlah penggunaan/ha     

     Tembakau                  nikotin                         200-40 Kg
     Biji teh                  saponin                         150-200 Kg
     Akar tuba                 Rotenon                         10  Kg

Bahan kimia pembasmi hama yang dibuat di pabrik biasanya digolongkan dalam kelompok pestisida dan ini bermacam-macam, tergantung pabriknya. Bahan pestisida tambak yang telah dikenl oleh petambak di Indonesia adalah Brestan-60, yang cara-cara pemberiannya tertulis pada label produksinya.

Pemeliharan Udang Windu

Tata Laksana Pemeliharaan
    Untuk membudidayakan udang Windu yang dikenal dengan nama latin Penaeus monodon ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu kualitas air dan tata cara pemeliharaan di fase-fase umur tertentu.
    Kualitas air yang harus diperhatikan yaitu meliputi penggantian air dan beberapa kualitas air tertentu yang disesuaikan dengan umur udang seperti diperlihatkan pada tabel berikut.

            Penggantian
    Umur udang    Kadar        air/ha/hr                      
    [bulan]                 garam            jumlah    %*]
        [0/00]    asin              tawar   
            [300/00]   

    1                          25                     125               625           750            5
    2                          20                     840               990          1830           10
    3                          15                    1125              1125          2250           15
    4                          15                    1500              1500          3000           20
Tata laksana pemeliharaan udang berdasarkan fase umurnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu tatalaksana pemeliharaan pada fase larva dan fase dewasa di tambak pembesaran.
a.     Pemeliharaan Fase Larva
Tata cara Pemeliharaan larva yang baik, yaitu sistem kolam yang terpisah, terdiri atas kolam diatomae, kolam induk dan kolam larva yang dipisahkan satu sama lain. Untuk lebih jelasnya tata cara pemeliharaan di masing-masing kolam akan dijelaskan berikut.
1.     Kolam Diatomae
Diatomae adalah sejenis ganggang yang biasanya digunakan sebagai pakan larva udang. Jenis diatomae yang sering digunakan untuk pakan larva udang ini dari jenis Chaetoceros sp, Skeletonema sp dan Tetra selinis. Jenis-jenis diatomae tersebut dikembangbiakkan [dikultur] secara buatan dengan cara sebagai berikut.
*    Pemupukan dilakukan pada jenis ganggang murni di dalam air laut yang disaring atau
*    Digunakan pada air laut yang sudah mengandung beberapa jenis ganggang diatomae. Air laut yang akan digunakan untuk menumbuhkan ganggang ini harus diambil dari daerah pantai yang berair jernih. Dengan kondisi seperti itu beberapa jenis ganggang diatomae dapat tumbuh. Di samping itu dalam keadaan seperti ini salah satu jenis akan lebih Dominan dibandingkan jenis-jenis ganggang yang lainya.
*    Pemupukan yang dilakukan pada kolam tempat menumbuhkan diatomae dengan menggunakn KNO3 10 mg/l; KH3PO4 1mg / l; Na2Sio3 1mg/l campuran mineral [premix] 0,2 mg/l.
Setelah mencapai waktu 2-3 hari, diatomae akan tumbuh subur dan sudah siap untuk diberikan pada larva udang fase Zoea. Jenis diatomae yang berukuran agak besar dapat diberikan pada larva udang fase mysis, tetapi sebenarnya larva udang pada fase ini lebih menyukai pakan yang berasal dari Zooplankton.
2.     Kolam Induk
Induk-induk udang yang sudah mengandung telur dan berasal dari laut lepas yang ditangkap nelayan selanjutnya dimasukkan ke dalam kolam berukuran 500 l di waktu senja hari; namun sebelumnya udang-udang itu perlu dicelupkan terlebih dahulu dalam larutan anti septik formalin. Pada umumnya telur udang dikeluarkan pada malam hari. Kemudian telur-telur udang yang berhasil dibuahi akan menetas menjadi larva fase nauphilus. Setelah telur menjadi larva nauphilus, sangat perlu nauphilus-nauphilus tersebut dipindahkan.

3.     Kolam Larva
Nauphilus yang ditempatkan pada kolam larva yang berukuran 2000-8000 l. Artemia dan Zooplankton yang diambil dari kolam diatomae, diberikan padalarva fase Mysis dan Post Larva [PL5 - PL6]. Pakan yang berupa artemia [artemia kering dan udang kering] diberikan pada larva udang fase Zoea sampai PL6. Lama Periode PL5 - PL6 dipindahkan ke petak tambak buyaran dengan kepadatan 32 - 1000 ekor/m3, dan setiap harinya diberi pakan artemia dan pakan buatan. Setelah larva udang mencapai fase PL20 - PL 30 atau yang biasa diberi nama benur, dapat dijual atau ditebarkan ke dalam tambak pembesaran.

b.     Tata Cara Pemeliharaan pada Fase Dewasa
Seperti pada fase larva, tata cara pemelihaaraan udang bergantung pada sistem tambak yang diterapkan. Pada pemeliharaan udang dengan cara ekstensif. Udang dipelihara seadanya saja, baik pada saat tahap persiapan pemupukan tambak maupun penebaran benih. Bahkan umumnya tidak pernah diberi pakan tambahan. Di samping itu proses pergantian air atau penambahan air tidak pernah dilakukan. Lain halnya pada tambak-tambak sistem intensif, biasanya dilakukan pemupukan, walaupun hanya pada bulan-bulan pertama. Sekitar 5 - 20% air tambak perlu diganti setiap hari, tetapi umumnya petani tambak hanya melakukannya pada bulan-bulan pertama benih setelah ditebar.
Pada tambak yang diusahakan secara intensif persiapan dan kontruksinya lebih bagus. Lebih sering dilakukan penggantian air yaang biasanya dilakukaan setiap hari, sekitar 30 % dari volume tanbak. Sedangkan pakan berupa pelet yang bermutu tinggi bisanya dilakukan 2 - 4 kali setiap harinya atau terkadang lebih. Aerasi sistem mekanik [kincir air] dilakukan sejak budidaya dan pemanenan yang dilakukan 4 bulan sekali.
   

Makanan Udang Windu

Makanan Udang Windu
Seperti telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, bahwa makanan Udang Penaeus berbeda-beda setiap periode kehidupannya. Makanan tersebut secara alamiah bergantung pada tersedianya makanan di lokasi tempat mereka hidup. Mereka biasanya makan hewan-hewan kecil sejenis poraminifera, copepoda, larva kerang [bivalvus dan brachiura]. Udang muda bersifat detritivorus yaitu pemakan sisa-sisa tumbuhan air yang kecil atau plankton dan apabila sudah dewasa mereka bersifat detritivorus-carnivorus, yaitu memakan juga hewan kecil lainnya. Di tempat budidaya udang, makanan tersebut dibedakan antara larva dan dewasa [termasuk post larva]. Menurut Terazaki [1981], makanan yang diberikan pada periode larva [nauphilus - post larva] adalah macam-macam jenis plankton [diatom], sedangkan bila sudah dewasa mereka diberi makanan formula yang mengandung unsur-unsur nutrisi yang cukup. Dalam bab ini dibahas unsur-unsur nutrisi yang baik untuk pertumbuhannya, baik makanan alamiah pada udang yang tidak dibudidayakan maupun makanan buatan untuk udang yang dibudidayakan.
Seperti juga pada mamalia, udang memerlukan unsur-unsur nutrisi untuk pertumbuhannya. Unsur-unsur yang penting adalah protein, karbohidrat, lemak dan unsur mineral yang esensial. Protein merupakan unsur nutrisi yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan udang. Dari hasil penelitian orang Inggris, Sedgwick [1979a], melaporkan bahwa konsumsi makanan rata-rata pada udang P. merguiensis sangat erat hubungannya dengan jumlah kandungan energi yang terdapat dalam makanan. Dia melaporkan bahwa kandungan protein yang diperlukan untuk merangsang pertumbuhan adalah 34-42%, yang mengandung energi 2,9 - 4,4 Kcal/g. Hasil penelitian di Polynesia [AQUACOP, 1976], mengatakan bahwa pada P. monodon, jumlah protein yang dibutuhkan dalam makanannya adalah 40 %, yang mengandung kalori 3,3 Kcal/g. Menurut Sedgwick [1979a], komposisi makanan yang baik untuk P. merguiensis sebagaimaana diperlihatkan pada tabel berikut        

    Unsur nutrisi                 Jumlah                        % kalori
    [berat kering]                       %                            

    Protein kasar                   39,5                           54,3  
    karbohidrat                    28,9                           27,0  
    lemak                           8,4                            18,7  
    abu                             14,1                            -    

Protein yang digunakan untuk pakan udang harus merupakan protein yang bermutu tinggi, untuk menghindarkan terjadinya defisiensi asam amino. Protein kualitas tinggi tersebut diperoleh dari sejenis kerang / moluska dari jenis Mytilus edulis yang lebih dulu dikering-bekukan.Komposisi nutrisi M. edulis tersebut adalah sebagai berikut.
-     Protein kasar     57,2 %
-     Karbohydrat         20,4 %
-     Lemak                   4,6 %
-     Abu                      8,6 %
Jumlah kalori          4,52 Kcal / g

Bahan karbohydrat yang digunakan adalah bahan makanan yang mudah dipecah menjadi polysakharida, ini diperoleh dari tepung gandum. Sedangkan bahan lemak yang digunakan adalah dari minyak ikan yang kaya akan bahan asam lemak tidak jenuh. Sedangkan vitamin dan mineral yang diberikan ialah Premix sebanyak 3 %

Sistem Pembenihan Udang Windu

Pembenihan
Pembenihan udang biasanya dilakukan sebagai usaha terpisah yang hasilnya dijual, tetapi pada pengusahaan tambak yang besar dan kadang-kadang sekaligus dilakukan dengan dua cara, yaitu secara alami dan buatan. Pembenihan secara alami dilakukan dengan mengalirkan air laut ke dalam tambak dengan harapan akan ada bibit-bibit udang yang terbawa dan dibesarkan. Pembenihan cara ini banyak dilakukan oleh para petani tambak tradisional. Sedangkan pembenihan buatan dilakukan dengan menangkap udang betina yang sudah siap bertelur untuk dibiakkan di dalam kolam pembenihan.

a.     Sistem Pembenihan
Sistem ini telah dikembangkan di Jepang dengan menggunakan kolam yang berukuran besar yang kapasitasnya dapat menampung benih udang 40.000 sampai 2 juta liter lebih. Kolam ini dapat terletak di udara terbuka atau di bawah atap plastik transparan. Kolam diisi air laut yang sudah di saring dan selalu diberi airasi [2]. Induk udang yang akan melepaskan telur dimasukkan ke dalam kolam pada waktu pagi hari, kemudian pemupukan kolam dilakukan apabila larva naupilus udang sudah terlihat, dengan penambahan beberapa spesiesphytoplankton dan juga zooplankton yang berguna untuk makanan larva udang tersebut. sistem ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan dari kolam, tetapi beberapa kerugian dapat timbul pada sistem ini, yaitu :
1.    Kesulitan dalam mengontrol kandungan algae yang tumbuh dalam kolam juga sulit mengontrol bila timbul penyakit.
2.    Kolam besar sangat memerlukan induk yang siap untuk bertelur dalam jumlah yang banyak.
3.    Sulit mendapatkan bibit udang induk dari spesies P. monodon [udang windu] dalam jumlah yang banyak dalam satu waktu.
4.    Larva P. monodon lebih sensitif pada pemupukan langsung, sehingga dapat menimbulkan kematian.
5.    Biaya yang diperlukan untuk membuat kolam yang besar terlalu mahal.

b.     Sistem Kolam Terpisah
Sistem ini telah berhasil dikembangkan di Texas, Amerika Serikat dan sistem inilah yang paling disukai oleh usaha-usaha pembenihan udang di negara-negara Asia. Sistem ini menggunakan beberapa kolam yang lebih kecil dengan kapasitas 500 - 30.000 liter. Kolam terpisah tersebut digunakan untuk pemeliharaan algae, diatom dan pembenihan artemia, kolam untuk bertelur dan kolam buyaran untuk pemeliharaan larva. Diatom yang digunakan untuk maknan larva dibiakkan di dalam kolam kecil yang berukuran 1000 - 2000 liter yang berisi air laut yang sudah disaring dan kemudian dipupuk. Induk udang dipelihara dalam kolam terpisah, kemudian telur ataupun larva naupilus diambil dan dipindahkan ke dalam kolam larva. Makanan bahan-bahan hidup seperti diatom atau artemia diberikan setiap hari dalam kolam larva. Post larva hari ke-6 [PL6) kemudian dipindahkaan dalam kolam buyaran dengan kepadatan sekitar 32-1000 larva / meter kubik yang kemudian dijual atau ditebarkan ke dalam tambak pembesaran pada periode post larva 20 sampai 30 [PL 20-PL 30).

c.     Cara Penebaran
Penebaran benih post larva [PLO-PL30] ke dalam tambak pembesaran bergantung pada sistem tambaknya dan luasnya. Pada sistem trambak ekstensif, ada yang penebarannya tidak dengan menggunakan benur dari pembenihan, tetapi dengan benur alam. cara ini banyak dilakukan oleh petambak tradisional, yaitu dengan mengalirkan air laut pada waktu pasang ke dalam tambak tambak dan diharapkan benur udang putih ikut masuk ke dalam tambak dan dipelihara. Cara penebaran benur udang windu dapat dilihat pada tabel berikut.

    Sistem tambak    Jumlah larva      Harapan hasil              ekor / ha    panen ton/ha

     Ekstensif                      < 5000                            0,3 - 0,5
     Semi intensif            10. 000 - 40. 000                       1,0 - 2,5
     Intensif                 40. 000 - 300.000                       3,0 - 6,0


Pemanenan biasanya dilakukan setiap 4 bulan setelah penebaran benur. Di Indonesia pada tambak intensif, penebaran benur bervariasi antara 40.000 - 400.000 ekor dengan produksi antara 1 - 10 ton / ha / 4 bulan. tetapi perlu diingat bahwa penebaran terlalu banyak benur dapat menaikkan angka kematian.

Teknik Pembuatan Tambak


Pembuatan suatu unit tambak haruslah memenuhi beberapa kriteria yang memadai, yaitu :
-    Kemudahan mobilitas dan operasional di sekitar tambak;
-    Kelancaran suplai air dan pembuangan;
-    Menghemat biaya konstruksi tanpa mengurangi fungsi teknik unit tambak yang dibangun;
-    Menjaga kelestarian lingkungan hidup
   
Demi kelancaran dan keamanan, unit tambak perlu dikelilingi tanggul primer yang cukup lebar [untuk transportasi] dan kuat [untuk menahan banjir - lebar = 4 m; lereng bagian dalam 1:1,5 m; bagian luar 1:2 m]. Tanggul sekunder [penyekat tiap tambak] dibuat lebih kecil, disesuaikan dengan fungsinya. Perlu dibuat petak pengendapan yang letaknya dekat dengan sumber air, sehingga air yang masuk ke dalam tambak lebih jernih. Perlu dibuat bangunan tambahan untuk menyimpan peralatan, untuk generator ataupun bengkel perbaikan alat. Perlu dibangun juga rumah penjaga yang letaknya dibuat sedemikian rupa sehingga dekat tambak untuk memudahkan operasi sehari-hari. Seperti dipelihatkan pada bagan berikut.












(A) Denah tambak semi intensif dan (B) yang berlokasi di pinggir laut. L= laut, A+= sumber air tawar, a & B= kolam penyimpanan air (pengendapan), R= rumah, G= gudang, Pa= pompa air, S= sungai.



















Denah tambak intensif yang lokasinya jauh dari sungai (A) dan jauh dari laut (B) P+ =pompa air tawar, Pa= pompa air asin,
L= laut, S= sungai

Kontruksi tambak seperti tanggul dan letak sumber air, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
-    Tahan terhadap damparan ombak besar, angin kencang dan banjir;
-    Lingkungan tambak beserta airnya harus cukup baik untuk kehidupan udang sehingga dapat tumbuh normal sejak ditebarkan sampai dipanen;
-    Tanggul harus padat dan kuat tidak bocor atau merembes serta tahan terhadap erosi air;
-    Desain tambak harus sesuai dan mudah untuk operasi sehari-hari sehingga dapat menghemat tenaga dan energi [mobilitas, listrik, distribusi makanan, panen, pembuangan kotoran dan lain-lain);
-    Sesuai dengan daya dukung lahan yang tersedia;
-    Menjaga kebersihan dan kesehatan hasil produksinya
Teknik pembuatan tambak ini dibagi menjadi tiga sistem yang disesuaikan dengan letak, biaya dan operasi pelaksanaannya, yaitu tambak ekstensif, semi intensif dan intensif.

1.     Tambak Ekstensif
Tambak sistem ini biasanya dibangun pada lahan pasang surut, yang pada umumnya berupa rawa-rawa bakau, atau rawa-raw pasang surut bersemak dan rerumputan. Luas tambak berkisar antara 1 - 3 ha, dengan satu pintu air di setiap petak. Pengisian dan pembuangan air sepenuhnya bergantung pada daya gravitasi pasang surutnya air laut. Dasar tambak terdiri atas pelataran yang dikelilingi oleh caren dengan lebar sekitar 8 m dan dalamnya 0,5 m. Kedua bentuk bangunan tersebut dibuat karena pada tambak ekstensif ini udang sangat bergantung pada makanan alami yang ditumbuhkan pada dasar tambak, yang disiapkan lebih dahulu dengan pemupukan. Kedalaman air dalam tambak sekitar 0,5-0,6 m dan tidak digunakan kincir air, tetapi pompa air masih tetap diperlukan untuk proses penggantian air.

2.     Tambak Semi Intensif
Tambak sistem ini biasanya tidak seluas tambak ekstensif yaitu sekitar 0,5-1 ha. Pengisian dan pengeluaran air dilakukan melalui saluran yang berbeda. Tambak yang luas petakannya 0,5 ha, berbentuk bujur-sangkar, pintu pembuangan air dan kotoran diletakkan di tengah-tengah petakan serta latai dasarnya agak miring ke tengah ke arah pintu. Pipa sambungan yang terletak di susut untuk pembuangan air hujan atau kotoran yang terbawa angin. Pintu air di tengah tersebut sangat baik, karena dapat membuang kotoran udang secara tuntas, di samping itu kincir air yang diletakkan sedemikian rupa pada sudut petak dapat mengalirkan air bersama kotoran ke arah tengah seperti terlihat pada gambar berikut.


















A tambak dengan 0,5 ha; B= pipa goyang dari pintu buangan tengah; C= tambak dengan luas 1 ha; D= parit keliling; E= saluran tambak semiintensif; Pb= pintu pembuangan kotoran; Ka= kincir air; Pp= Pintu panen; Pr= parit pengering; S= saluran air; Tb= tambak; P= pipa pembuangan air hujan dan kotoran.

3.     Tambak Intensif
Luas petakan tambak dengan sistem ini terkecil dibanding dengan sistem yang lainnya yaitu sekitar 0,3 - 0,5 ha; biasanya berbentuk bujur sangkar yang dilengkapi dengan pintu pembuangan di tengah dan pintu panen model monik di pematang saluran buangan. Bentuk dan kontruksinya menyerupai tambak semi intensif bujur sangkar. Lantai dasar dipadatkan sampai keras, dan biasanya dilapisi oleh pasir/kerikil. Tanggul biasanya dibuat dari tembok, sedang air laut dan air tawar dicampur dalam bak pencampur sebelum masuk ke dalam tambak. Pipa pembuangan air hujan atau kotoran yang terbawa angin biasanya di pasang mati disudut petak seperti terlihat pada gambar di berikut ini.











Letak dan skema pintu panen pada tambak intensif.
A= denah tambak intensif 0,4-0,5 ha. B= pintu modell monik ditanggul; C= skema pintu panen model monik; T= tanggul; JP= jaringan panen.











Skema pintu pembuangan kotoran dan letaknya. A= skema pintu pembuangan; B= letak pintu pembuangan dalam tambak; P= pipa garis tengah 10 inci; Kb= kere bambu; Pn= papan kayu; Ls= Lantai semen; Sr= saringan; Pb= parit buang.

Friday 9 December 2016

Makanan Alami dan Kebiasaan Makan Udang Windu di Alam

Makanan Alami dan Kebiasaan Makan
Jenis makanan alami udang windu bervariasi tergantung pada tingkatan umurnya. Pada stadia nauphilus belum mengambil makanan dari luar, masih memanfaatkan makanan cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia Zoea mulai mengambil makanan dari luar berupa Phytoplnkton [skeletonema, Navicula dan Amphora], sedangkan stadia mysis mulai makan zooplankton [Protozoa, Rotifera, Balanus]. Setelah mencapai stadia post larva sampai juvenil disamping makanan tersebut di atas, mereka juga makan benthos, moluska kecil [anak tiram, anak tritip], crustacea kecil [larvaa udang-udangan, anak kepiting], cacing annelida, detritus [sisa-sisa hewan dan tetumbuhan yang sedang membusuk]. Udang dewasa suka memakan daging moluska [kerang, tiram, siput], cacing polychaeta, crustacea [udang-udangan], anak insekta [chironomus] dan lain-lain. Di dalam perut udang juga sering ditemukan lumpur dan pasir yang secara tidak sengaja termakan.
Setelah stadia post larva, udang termasuk hewan benthos yang mencari makanan di dasar, bersifat omnivora [pemakan segala] tetapi cenderung carnivora [pemakan daging]. Disamping itu udang juga bersifat continuous feeder [ kebiasaan makan yang terus-menerus].
Udang lebih aktif mencari makan di dalam keadaan gelap, di habitat alaminya udang lebih aktif mencari makan pada malam hari.
Untuk mencari makanannya udang menggunakan indra perasa [chemoreceptor], yaitu :antenna flagella, rongga mulut, kaki jalan, carapce. insang, ruas abdomen dan uropoda.
*    Udang menangkap makanannya dengan menggunakan kaki jalan [Pereiopoda], kemudian dimasukkan ke adalam mulut [bucal cavity] yang kemudian ditelan perlahan-lahan.