Thursday 6 October 2016

Kualitas Air dan Bahan Kimia Terlalut dalam Budidaya Lobster

Kualitas Air
Kualitas air sangat penting untuk diperhatikan dalam usaha pembesaran lobster. Kualitas air yang kurang baik dapat mengakibatkan lobster mengalami kesukaran untuk moulting atau ganti kulit. Oleh sebab itulah air di dalam bak atau tambak harus diusahakan mirip dengan keadaan air tempat hidupnya di alam. Di dalam bak, Lobster membutuhkan air yang keadaannya jernih dan sejuk, kaya akan oksigen, serta bebas dari racun seperti amoniak.
Air yang dipergunakan untuk pembesaran lobster harus diperoleh dari laut. Oleh karena itu lokasi pembesaran lobster harus diusahakan dekat dengan laut. Untuk menjaga air agar selalu dalam keadaan tetap sejuk, perlu dibuat sumur yang berguna sebagai tempat penampungan dan pengendapan. air yang berasal dari laut atau bak pemeliharaan, setelah disaring, dialirkan ke dalam sumur. Di dalam sumur air diendapkan selama beberapa hari lamanya sampai menjadi sejuk. selanjutnya, air dipompa ke dalam skimmer. di dalam skimmer ini air akan diuraikan sehingga benar-benar bebas dari zat-zat yang dapat membahayakan kehidupan lobster. Dari sini air kemudian dialirkan kembali ke bak pemeliharaan setelah terlebih dahulu ditambahkan gas oksigen. Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai kualitas air ini adalah salinitas. Seperti telah kita ketahui lobster hidup di perairan dengan kadar garam yang cukup tinggi, dan stabil. Pada kenyataannya di dalam bak pun lobster membutuhkan salinitas yang tinggi dan keadaannya konstan, agar proses pergantian kulitnya berlangsung dengan baik. Berdasarkan suatu penelitian diketahui kadar garam yang optimal bagi lobster, yaitu 30 promil.
 Bahan Kimia Terlarut
Air laut tempat makhluk air hidup, banyak yang mengandung bahan-bahan kimia baik berbentuk organik maupun anorganik. Bahan-bahan kimia tersebut ada yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup [esential], tetapi ada juga yang tidak berguna sama sekali [nonesensial], bahkan dapat berupa racun bagi makhluk air tersebut. Bahan kimia yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan fisiologis udang antara lain, yaitu kadar kalsium yang cukup dan juga kandungan logam mineral esensial yang lainnya seperti tembaga, seng, besi, mangan dan lain-lain. Sedangkan bahan kimia yang nonesensial dan dapat menyebabkan keracunan adalah kadar amoniak yang tinggi, pestisida atau beberapa macam logam berat yang berbahaya seperti merkuri, timah hitam, dan cadmium. Untuk lebih jelasnya bagaimana pengaruh bahan kimia terlarut terhadap kelangsungan hidup udang penaeus, berikut masing-masing akan diulas.

a.     Kadar Kalsium [Ca]
Kandungan Ca di dalam air sangat penting untuk kehidupan udang, terutama proses moulting [ganti kulit] dan pertumbuhannya. Biasanya setelah udang melepaskan kulitnya, kalsium sangat dibutuhkan untuk mengganti kalsium yang hilang dan mempercepat klasifikasi pada carapaceae [pengerasan pada kulit kepala]. Defisiensi Ca di dalam air dapat mengganggu proses pergantian kulit pada udang, sehingga proses moulting terhambat dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Seorang peneliti melaporkan bahwa kandungan Ca yang tinggi, ditemukan di dalam haemolymph [darah udang] pada udang yang sedang moulting dan post moulting. angka kematian yang tinggi, salah bentuk rostrum dan pereiopod pada P. monodon ditemukan pada kolam yang memiliki alkalinitas kurang dari 50 ppm CaCO3. Sedangkan pada alkalinitas yang lebih dari 80 ppm udang terlihat sehat dan berkembang normal. Untuk menaikkan alkalinitas dapat dilakukan dengan memberi batu kapur; apabila pH air sebelum diberi kapur adalah 7, sesudah diberi kapur menjadi 8. Penelitian mengenai Ca di dalam kolam ini perlu dilakukan lebih lanjut.

b.     Amoniak, Nitrit dan Hydrogen Sulfida
Amoniak merupakan sisa buangan hasil katabolisme protein dari udang. Udang atau jenis Crustacea yang lainnya mengeluarkan amonia 40% - 90% dari nitrit yang diekskresi. Dalam air, amoniak juga dikeluarkan oleh hasil metabolisme mikroba dari senyawa nitrogen yang dalam keadaan kadar oksigen rendah. Amoniak di dalam air dapat berbentuk ion NH4+, maupun bulkan ion NH3. Bentuk NH3 inilah yang bersifat racun bagi kelangsungan hidup P. monodon, terutama pada periode larva. Chi dan Chen [1987], melaporkan bahwa kadar 0,01 ml NH3 cukup baik untuk kehidupan larva P. monodon.
Nitrit dan Nitrat merupakan hasil dari oksidasi senyawa amoniak dari proses yang disebut nitrifikasi amoniak yang terjadi di dalam air. Nitrit ini sangat bersifat racun [toksik] terhadap ikan, tetapi kurang begitu beracun terhadap udang, karena nitrit yang mengoksidasi haemoglobin menjadi bentuk met haemoglobin ini tidak dapat mengangkut oksigen. Sedangkan pada udang pigmen darahnya berbentuk haemocyanin, yang masih dapat mengangkut oksigen, sehingga udang dapat mengikat oksigen walaupun kadarnya 170 mg/l nitrit di dalam air dapat membunuh sekitar 50% udang dalam waktu 24 jam.
Hidrogen sulfida di dalam air dihasilkan oleh sejenis bakteri dari bahan-bahan organik pada kondisi tanpa oksigen [anaerobik]. Hydrogen sulfida bersifat sangat beracun bagi udang pada waktu udang mencari makanan di dasar air. Di dalam air Hydrogen sulfida berbentuk ion [HS-] atau dapat pula berbentuk molekul H2S. Bentuk molekul tersebut yang bersifat racun. Konsentrasi H2S ini sangat bergantung pada keadaan pH, suhu dan kadar garam. Kandungan H2S ini sangat bergantung pada keadaan pH, suhu dan kadar garam. Kandungan H2S 6,4 mg/l air dapat mematikan P. monodon 100% di dalam waktu 30 jam.

c.     Pestisida
Pestisida pemakaiannya secara meluas dimulai setelah perang dunia kedua, yaitu dengan menggunakan organochlorine, terutama pemakaian DDT di Amerika, cyclodines [aldrin dan dieldrin] dan hexachlohexan [HCH] di Inggris dan Jepang. Sejak saat itu pestisida mulai tersebar pemakaiannya, tidak hanya di negara-negara maju saja tetapi terus menyebar ke negara-negara berkembang. Dengan mulai digunakannya pestisida tersebut, pengaruhnya terhadap pencemaran lingkungan mulai terjadi, dan sebagai akibatnya organisme air, termasuk udang, juga mulai terkena pengaruhnya.
Kadar pestisida di dalam air yang paling aman bagi kehidupan udang P. monodon, yaitu 0,0004 ug/l parathion, 0,001 ug/l Paraquat dan 1 ug/l Butachlor.

d.     Logam Berat
Logam berat di dalam air laut biasanya digolongkan di dalam dua golongan, makroelement dan mikroelement. Golongan makro biasanya esensial untuk pertumbuhan udang, sedangkan golongan mikro dibagi menjadi dua kelompok, yaitu esensial dan nonesensial. Kelompok nonesensial inilah yang dapat berpengaruh negatif pada udang, walaupun kelompok esensial dalam dosis yang tinggi juga menyebabkan racun. Kelompok nonesensial ini adalah merkuri [Hg], Timah hitam [Pb], dan Cadmium [Cd].
    Menurut Bryan [1984], beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan racun logam berat terhadap udang dan organisme laut lainnya, yaitu :
*    Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut di dalam air
*    Pengaruh interaksi antara logam dan jenis racun lainnya.
*    Pengaruh lingkungan seperti temperatur, kadar garam, pengaruh pH ataupun kadar oksigen di dalam air.
*    Keadaan dari hewan, fase siklus hidup [telur larva, dewasa], besarnya organisme, jenis kelamin dan kecukupan kebutuhan nutrisi
*    Kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk [polusi], misalnya lari untuk berpindah tempat.
*    Kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun, misalnya proses detoksikasi.
Logam yang termasuk kelompok nonesensial dalam konsentrasi sedikit saja dapat menyebabkan keracunan berat. Cadmium [Cd] dalam konsentrasi 0,5 - 0,7 mg/l di dalam air dapat menyebabkan nekrosa insang, dan fokal nekrosa serta hypertropi pada hepatopankreas [hati yang bersatu dengan pankreas] dan mukosa usus udang putih [P. merguiensis]. Selain itu logam tersebut juga dapat menimbulkan pengaruh yang tidak dikehendaki terhadap orang-orang yang makan udang/ikan yang tercemar oleh logam yang bersangkutan. Peristiwa yang terbesar terjadi pada tahun 1953 di teluk Minamata, Jepang dengan timbulnya penyakit minamata [minamata diseases], ketika terjadi pencemaran ikan laut oleh merkuri [Hg]. Peristiwa lainnya yaitu terjadi di sepanjang sungai Jinzu di Jepang juga, dengan terjadinya penyakit “itai-itai” yang disebabkan oleh logam cadmium [Cd].

No comments:

Post a Comment